Sabtu, 23 Februari 2013

MAKALAH PRESENTASI MENYANGKUT PENCUCIAN UANG TENTANG PASAR MODAL / KORUPSI



MAKALAH PRESENTASI MENYANGKUT PENCUCIAN UANG TENTANG PASAR MODAL / KORUPSI



KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena atas berkat dan limpahan rahmatnyalah maka saya boleh menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul "Kelemahan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang", yang menurut saya dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari kelemahan dari peraturan perundangan yang mengatur tentang tindak pidana pencucian uang atas hasil korupsi dan lainnya.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan, saya menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna maka saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.

Batam, 20 Februari 2013

                                                                                                                                   Nurhayati, SH







DAFTAR ISI

Halaman Judul………………………………………………………………………….       i
Kata Pengantar………………………………………………………………………….       ii
Daftar Isi………………………………………………………………………………..       iii
BAB I
I.1        Pendahuluan……………….……………………………………………………      1
I.2        Latar Belakang Masalah………………….……………………………………...      2
I.3        Sistematika Penulisan……………………………………..…………………….. ..    3
BAB II
II.1      Pengertian Pencucian Uang……………………………………………………... ...    5
II.2      Faktor Pendorong Terjadinya Pencucian Uang………………………………….. ...    6
II.3      Dampak Pencucian Uang dalam pasar modal …..………………………….. …....      7
II.4      Peraturan Perundangan Tentang Pencucian Uang di Indonesia…………………......     8
BAB III
III.1     Kesimpulan……………………………………………………………………….    9
III.2     Saran……………………………………………………………………………..   10




BAB I

I.1 Pendahuluan
Indonesia telah melakukan kriminalisasi terhadap pencucian uang sejak awal tahun 2002 dengan diundangkannya Undang Undang No.15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU), dan kemudian pada Oktober 2003 diamdemen dengan Undang Undang No.25 Tahun 2003. Meskipun telah berlaku selama lebih 4 tahun, nampaknya implementasi terhadap ketentuan ini masih jauh dari memuaskan.
Ketika diamandemen pada tahun 2003 alasan utamanya lebih pada kelemahan perundangan yang mengakibatkan sulit untuk diterapkan dimana hal ini juga atas desakan Financial Action Task Force (FATF). Desakan internasional pertama kali dikakukan pada Juni 2001 dan setelah melalui beberapa bentuk tekanan dan penilaian FATF[2] akhirnya pada Pebruari 2006 dinyatakan keluar dari monitoring formal FATF. 
Namun demikian ternyata hal ini bukan berarti Indonesia tidak “diawasi”karena pada tahun 2007 FATF akan kembali melakukan review secara menyeluruh terhadap pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia termasuk peratutan perundangan yang mendukung penegakannya.
Bila dipahami bahwa semua tindak pidana ekonomi (kejahatan keuangan) akan bermuara pada perbuatan pencucian uang, maka seharusnya penerapan UUTPPU terhadap perkara kejahatan ekonomi juga banyak. Tetapi pada kenyataannya putusan pengadilan terhadap kejahatan keuangan yang dikaitkan dengan UUTPPU tidak sampai 20 putusan, padahal kejahatan ekonomi yang sampai pada pengadilan jumlahnya sangat besar (apalagi yang masih dalam tahap penyidikan jumlahnya jauh lebih banyak) sebut saja dari korupsi, kejahatan perbankan, illegal logging, penyelundupan dan lain-lain.
Semua kejahatan tersebut seharusnya diajukan ke pengadilan dengan dua dakwaan sekaligus yaitu kejahatan asalnya dan muara uang hasil kejahatan sebagai tindak pidana pencucian uang. Seharusnya dipahami bahwa kriminalisasi pencucian uang suatu strategi untuk memberantas berbagai kejahatan ekonomi bukan saja melalui upaya penerapan hukum terhadap kejahatan asal tersebut tetapi juga menghadang hasil aliran hasil kejahatan dengan ketentuan anti pencucian tersebut. Maka dapat dikatakan bahwa penerapan ketentuan anti pencucian uang bertujuan tidak saja menangkap pelakunya tetapi juga menelusuri hasil kejahatan dan kemudian merampasnya.
Melihat masih sedikitnya kasus pencucian uang yang sampai pada putusan, atau begitu banyaknya kasus kejahatan ekonomi yang tidak dikaitkan dengan tuntutan pencucian uang, menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi factor penyebabnya. Keadaan ini bukan mustahil Indonesia dianggap tidak bersungguh-sungguh dalam upaya pemberantasan pencucian, dan akan berakibat pada penilaian yang tidak menguntungkan bagi Indonesia di mata internasional, terutama oleh FATF. Untuk itu nampaknya harus dikaji lebih mendalam tentang faktor apa saja yang menjadi kendala sehingga penegakan hukum terhadap pencucian uang begitu lemah.
Pengakajian ini harus diawali dengan memahami kembali latar belakang dan tujuan dilakukannya kriminalisasi terhadap perbuatan pencucian uang, baik secara global maupun untuk kepentingan nasional, kemudian disinergikan dengan kualitas perundangan, kesiapan aparat penegak hukum dan sikap masyarakat atas upaya pemberantasan pencucian uang.

I.1 Latar Belakang Masalah
Di dalam penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang ini ada masalah yang perlu diperhatikan oleh aparat penegak hukum. Setiap kinerja dan  profesionalitas penegak hukum yang tidak memadai akan menciptakan kendala dalam pengungkapan kejahatan sehingga mengalami kesulitan pembuktian dalam melakukan penyidikan terhadap kejahatan pencucian uang.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat adanya  peningkatan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) sepanjang 2008 yakni hampir 100 persen. Jika selama 2007 LTKM tercatat hanya 11.668 transaksi, maka sepanjang 2008 bertambah hingga 95,6 persen menjadi 22.824 LTKM. Laporan tahun 2008 tersebut merupakan hasil laporan yang dilakukan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) kepada PPATK. Sebanyak 652 hasil analisis dari 1.240 LTKM telah disampaikan PPATK kepada penegak hukum berdasarkan laporan statistik per 31 Desember 2008. Penyerahan ini terdiri dari 602 kasus atau hasil analisis dari 1.041 LTKM dan 23  kasus atau hasil analisis disampaikan ke Kejaksaan Agung (yang merupakan hasil dari 199 LTKM). Sementara itu, laporan kejahatan yang disampaikan PPATK ke Kejaksaan Agung sebanyak 16 kasus. Saat ini terdapat 13 putusan pengadilan menggunakan dakwaan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Kondisi demikian ini menyebabkan Indonesia mengalami kegagalan dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, karena tidak seimbangnya jumlahkasus temuan PPATK tentang transaksi keuangan mencurigakan yang berindikasipencucian uang, dengan jumlah kasus yang diselesaikan aparat penegak hukum.Pembuktian memegang peranan yang sangat penting dalam penyelesaian suatu perkara, karena ketentuan-ketentuan dalam hukum acaranya bertujuan untukmemperoleh jaminan maksimal atas kebenaran dan keadilan melalui suatu putusan  Hakim, didasarkan pada penerapan hukum pembuktian. Dengan perkataan lain, maka untuk memperoleh jaminan maksimal atas kebenaran dan keadilan suatu perkara  sangat tergantung dalam proses pembuktian yang sesuai dengan ketentuan. 
Alat-Alat bukti yang digunakan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundring) terdapat dalam Pasal 73 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang Nomor 8 Tahun 2010 menyatakan :
“Alat bukti  yang sah dalam pembukitan Tindak Pidana Pencucian Uang ialah :
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;dan/atau
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan dokumen.”

Dengan demikian  alat-alat pembuktian yang ditentukan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang jauh lebih banyak dan lebih beragam jikadibandingkan dengan apa yang ditentukan dalam KUHAP mengingat cara-cara yang digunakan pelaku untuk melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan cara-cara  yang canggih. Akan tetapi alat bukti yang ditentukan KUHAP tersebut merupakan  bagian dari alat-alat bukti yang terdapat dalam Tindak Pidana Pencucian Uang.
I.3 Sistematika Penulisan
            Penulisan hukum ini terdiri dari 3 (Tiga) bab, dan masing-masing bab dari sub-sub bab. Adapun susunannya :
BAB I                     :           Pada bab ini dipaparkan mengenai latar belakang penulisan makalah serta sistematika penulisan
BAB II                      :           Pada bab ini dijelaskan secara rinci mengenai pencucian uang serta bentuk-bentuk pencucian uang yang sering dilakukan dalam tindak             pidana korupsi
BAB III                      :           Pada bab ini dipaparkan kesimpulan dari permasalah yang telah       dibahas dalam bab kedua

BAB II
II.1. Pengertian Pencucian Uang
Pada saat ini, lebih dari sebelumnya, pencucian uang atau yang dalam istilah bahasa Inggrisnya disebut  money laundering, sudah merupakan fenomena dunia dan merupakan tantangan bagi dunia internasional. Walau pun begitu, tetap tidak ada definisi yang berlaku universal dan komprehensif mengenai apa yang disebut dengan pencucian uang atau  money laundering. Pihak penuntut dan lembaga penyidikan kejahatan, kalangan pengusaha dan perusahaan, institusi-institusi, organisasi-organisasi, negara-negara yang sudah maju, dan negara-negara dari dunia ketiga, maupun para ahli masing-masing mempunyai definisi sendiri berdasarkan prioritas dan perspektif yang berbeda-beda.
Pencucian uang adalah tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menyamarkan uang hasil tindak pidana sehingga seolah-olah dihasilkan secara halal. Atau untuk pengertian lebih jelasnya,  money laundering  adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram yaitu uang yang dihasilkan dari kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pihak berwenang dengan cara memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga kemudian uang tersebut dapat dikeluarkan dari sistem keuangan tersebut sebagai uang halal.

II.2. Faktor Pendorong Terjadinya Pencucian Uang
Pada saat ini, banyak tindak pidana dan kejahatan yang sudah dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, sehingga semakin sukar pengungkapannya. Perkembangan teknologi yang semakin canggih dan harganya yang terjangkau seringkali dipergunakan sebagai alat bantu melakukan kejahatan. Modus operandi kejahatan seperti ini, hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai status sosial menengah ke atas dalam masyarakat, bersikap tenang, simpatik serta terpelajar. Dengan mempergunakan kemampuan, kecerdasan, kedudukan serta kekuasaannya, seorang pelaku tindak pidana dapat meraup dana yang sangat besar untuk keperluan pribadi atau kelompoknya saja.
Industri perbankan merupakan sarana efektif untuk dijadikan sumber pencucian uang dan juga sebagai mata rantai nasional dan internasional dalam proses pencucian uang. Hal ini disebabkan sarana perbankan cukup banyak menawarkan jasa-jasa dan instrumen dalam lalu lintas keuangan yang dapat menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul suatu dana.
Adapun faktor-faktornya adalah sebagai berikut:
a. Faktor pertama adalah globalisasi. Dalam hal ini terjadinya globalisasi memang mengakibatkan para pelaku pencucian uang dapat memanfaatkan sistem financial dan perbankan internasional untuk melakukan kegiatannya.
b. Faktor kedua adalah cepatnya perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi ini mungkin dapat dikatakan sebagai faktor yang paling mendorong berkembangnya pencucian uang. Perkembangan teknologi informasi seperti internet misalnya, dapat mengakibatkan hilangnya batas-batas antar negara.
c. Yang ketiga adalah mengenai ketentuan kerahasiaan bank. Ketentuan ini mengakibatkan kesulitan bagi pihak berwenang  untuk menyelidiki suatu rekening yang mereka curigai dimiliki oleh atau dengan cara yang ilegal.
d. Faktor keempat adalah dimungkinkannya oleh ketentuan perbankan di suatu negara untuk seseorang dapat menyimpan dana di suatu bank dengan nama samaran atau tanpa nama atau anonim.
e. Faktor kelima adalah munculnya jenis uang baru yaitu electronic money atau E-money, yaitu sehubungan dengan maraknya  electronic commerce atau  ecommerce melalui internet. Kegiatan pencucian uang yang dilakukan melalui jaringan internet ini biasa disebut sebagai cyber-laundering.
f. Faktor keenam adalah karena dimungkinkannya praktek pencucian uang dengan cara yang disebut  layering  atau pelapisan. Dengan cara ini, pihak yang menyimpan dana di bank bukanlah pemilik sesungguhnya dari dana itu. Deposan tersebut hanyalah bertindak sebagai kuasa atau pelaksana amanah dari pihak lain yang menugasinya untuk mendepositokan uang tersebut di sebuah bank.
g. Faktor ketujuh, karena berlakunya ketentuan hukum berkenaan dengan kerahasiaan hubungan antara  lawyer dengan kliennya, dan antara akuntan dengan kliennya.
h. Faktor kedelapan adalah karena seringkali pemerintah yang bersangkutan tidak bersungguh-sungguh untuk memberantas praktek pencucian uang yang dilakukan melalui sistem perbankan negara tersebut.
i. Faktor kesembilan adalah karena tidak adanya dikriminalisasi perbuatan pencucian uang di sebuah negara. Dengan kata lain, negara yang bersangkutan tidak memiliki undang-undang tentang pencucian uang yang menentukan perbuatan pencucian uang sebagai tindak pidana.

II.3. Dampak Pencucian Uang
   Praktek pencucian uang atau money laundering memang tidak secara langsung merugikan orang atau perusahaan tertentu. Secara sepintas bahkan praktek ini tampak tidak menimbulkan korban. Praktek pencucian uang berbeda dengan tindak pidana lain seperti pembunuhan, perampokan atau pencurian yang menimbulkan kerugian langsung bagi korbannya.
Masyarakat dunia internasional pada umumnya justru berpendapat sebaliknya, yaitu bahwa praktik pencucian uang yang dilakukan oleh organisasi-organisasi kejahatan dan para penjahat mempunyai akibat yang amat merugikan. Dalam kegiatan pencucian uang, dana yang menjadi obyek dari kegiatannya adalah uang yang diperoleh melalui tindak kejahatan. Setelah melalui proses pencucian uang, uang tersebut akan menjadi sedemikian “tersamar” sehingga sulit untuk dideteksi oleh pihak yang berwenang dan sulit untuk diusut kembali ke sumbernya. Dan karena tidak dapat diusut kembali ke sumbernya, maka para pelaku kejahatan tersebut akan dapat dengan mudah menggunakan uang tersebut untuk mengembangkan kejahatannya, yang akhirnya akan membawa kerugian besar pada masyarakat. Beberapa dampak negatif dan kerugian yang ditimbulkan oleh kegiatan pencucian uang terhadap masyarakat antara lain:
a. Pencucian uang memungkinkan para pengedar narkoba, penyeludup dan penjahat lainnya untuk dapat memperluas kegiatan operasinya. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya biaya penegakan hukum untuk memberantasnya.
b. Kegiatan ini mempunyai potensi untuk merongrong masyarakat keuangan sebagai akibat demikian besarnya jumlah uang yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Potensi untuk melakukan korupsi meningkat bersamaan dengan peredaran uang haram yang sangat besar.
c. Pencucian uang mengurangi pendapatan pemerintah dari pajak dan secara tidak langsung merugikan para pembayar pajak yang jujur dan mengurangi kesempatan kerja yang sah.
d. Masuknya uang dan dana hasil kejahatan ke dalam keuangan suatu negara telah menarik unsur yang tidak diinginkan melalui perbatasan, menurunkan kualitas hidup, dan meningkatkan kekhawatiran terhadap keamanan nasional.
e. Pencucian uang dapat merugikan sektor swasta yang sah (Undermining in the Legitimate Privet sector).  Salah satu dampak mikro ekonomi pencucian uang terasa di sektor swasta. Para pelaku kejahatan seringkali menggunakan perusahaan-perusahaan untuk mencampur uang haram dengan uang sah, dengan maksud untuk menyamarkan uang hasil kejahatannya. Perusahaan-perusahaan tersebut memiliki akses ke dana haram yang sangat besar jumlahnya, yang memungkinkan mereka untuk menyediakan barang-barang dan jasa yang dijual oleh perusahaan-perusahaan tersebut dengan harga yang jauh di bawah pasar. Bahkan perusahaan ini dapat saja menjual barang-barang tersebut di bawah harga produksinya. Dengan demikian mereka  akan memiliki  competitive advantageterhadap perusahan yang bekerja secara sah. Hal ini membuat bisnis yang sah menjadi kalah bersaing dan menjadi bangkrut.
f. Pencucian uang dapat mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonominya.

II.4 Peraturan Perundangan Tentang Pencucian Uang di Indonesia
Indonesia baru memandang praktek pencucian uang sebagai suatu tindak pidana dan menetapkan sanksi bagi pelakunya adalah ketika diundangkannya UU No 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang (UUPU). Sebelumnya pencucian uang di Indonesia belum dinyatakan sebagai suatu tindak pidana sehingga mengakibatkan Indonesia menjadi “surga” dan sasaran kegiatanpencucian uang. Di masa Orde Baru, yaitu ketika Soeharto masih berkuasa sebagai Presiden Republik Indonesia, Pemerintah pada waktu itu tidak pernah menyetujui untuk mengkriminalisasi pencucian uang. Alasannya adalah karena pelarangan pencucian uang di Indonesia hanya akan menghambat penanaman modal asing yang sangat diperlukan bagi pembangunan di Indonesia.
Negara Indonesia ini memang memiliki kondisi yang menguntungkan sekali bagi para pelaku kegiatan pencucian uang. Kondisi-kondisi tersebut antara lain adalah sistem devisa bebas yang dianut, sistem kerahasiaan bank, belum memadainya perangkat hukum, kebutuhan negara ini akan likuiditas, dan lainnya.
Sistem devisa bebas yang dianut di Indonesia memungkinkan tiap orang bebas untuk memasukkan atau membawa keluar valuta asing dari wilayah yuridiksi Indonesia sesuai dengan PP No 1 Tahun 1982. Sebelum keluarnya PP ini, ada ketentuan yang mengatur agar setiap devisa yang keluar masuk negara Indonesia harus di catat oleh Bank Indonesia sebagaimana yang digariskan dalam UU N0 32 tahun 1964.  Berlakunya PP No 1 Tahun 1982 ini memang dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan dana bagi pembangunan nasional dengan mengundang para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, akan tetapi di sisi lain mengakibatkan dampak negatif yaitu maraknya kegiatan pencucian uang. Sistem devisa bebas ini memungkinkan berbagai cara pencucian uang melalui transaksi lintas negara dalam waktu singkat sehingga menyulitkan pihak berwenang yang ingin melacaknya.
Beberapa kondisi di atas adalah hal-hal yang membuat Indonesia didesak oleh dunia internasional untuk segera memberlakukan UU pencucian uang dan mengkriminalisasi kegiatan pencucian uang. Pemberantasan kegiatan pencucian uang dapat dilakukan melalui pendekatan pidana maupun pendekatan bukan pidana, seperti pengaturan dan tindakan administratif.
Sebelum diundangkannya UU No 15 Tahun 2002, Pemerintah Indonesia sudah mulai berpartisipasi dalam pemberantasan pencucian uang. Adapun beberapa peraturan dalam perundang-undangan Indonesia yang terkait dengan usaha pemberantasan pencucian uang antara lain:
a. Peraturan Perundang-undangan Tersebar
            1. KUHP, khususnya pasal 480 dan pasal 481  mengenai Penadahan.
            2. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
            3. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
            4. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
b. Peraturan Dalam Undang-undang Perbankan
            1. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
            2. UU No. 7 Tahun 1998
            3. UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa.
c. Peraturan Dan Surat Edaran Bank Indonesia
            1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/50/KEP/DIR tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembelian Saham Bank Umum.
            2. PBI No.2/27/PBI/2000 tentang Bank Umum
            3. PBI No.3/3/PBI/2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah Dan Pemberian Kredit Valas oleh Bank.
            4. PBI No.3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
            5. Surat Edaran Bank Indonesia No.2/10/DASP tentang Tata Usaha

Penarikan Cek/Bilyet Giro Kosong.
Setelah diundangkannya UU No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU) pada tanggal 17 April 2002 yang kemudian diubah dengan UU No.25 Tahun 2003 dan kemudian dicabut dan diganti dengan UU No. 8 Tahun 2010tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, terjadi perubahan besar dalam tata cara memandang dan menangani kegiatan pencucian uang di Indonesia. Perubahan yang pertama adalah keberlakuan UUTPPU ini telah menyatakan praktek pencucian uang sebagai suatu tindak pidana, sehingga akan ada sanksi bagi orang-orang yang melakukan kegiatan ini. Perubahan yang kedua adalah dibentuknya unit independen yang akan berperan besar dalam pencegahan dan pemberantasan kegiatan pencucian uang di Indonesia yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Dalam pembahasan kondisi setelah diundangkannya UU No.8 Tahun 2010 ini akan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah Pokok-Pokok UU No. 8 Tahun 2010 dalam hubungannya dengan pengkriminalisasian pencucian uang di Indonesia, bagian kedua adalah mengenai tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya yang terkait, sedangkan pada bagian ketiga pembahasan akan dikhususkan pada PPATK sebagai “operator pelaksana” dari UU ini.
Dari perspektif mikro pencegahan dan pemberantasan TPPU, UU No 8 Tahun 2010 ini telah menggambarkan kemajuan pesat dan komitmen politik pemerintah Indonesia dalam ikut serta melaksanakan ketertiban dan keamanan internasional khusus dari tindak pidana ini. Namun, dalam perspektif makro sistem ekonomi nasional dan langkah pemerintah untuk meningkatkan investasi domestik, terutama dari investor asing, keberadaan UU ini bisa menjadi kontraproduktif.
Ada beberapa faktor penyebab dari masalah kontra produktif ini. Pertama, sistem birokrasi di Indonesia sangat lemah dalam segi manajemen administrasi, koordinasi, dan pengawasan pelaksanaan tugas yang dibebankan oleh undang-undang. Kedua, sistem birokrasi di Indonesia masih sangat lemah dari sisi profesionalisme, integritas, dan akuntabilitas sehingga potensial muncul penyalahgunaan wewenang serta korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ketiga, UU ini tidak menyediakan sarana hukum yang memadai untuk melakukan pencegahan terhadap kemungkinan moral hazard yang akan terjadi dalam implementasi UU ini.
Keempat, sistem birokrasi di Indonesia tidak berhasil dan tidak pernah berhasil menggunakan prinsip stick and carrot dan merrit sytem yang benar dalam langkah reformasi birokrasi sejak 1998 yang lampau. Kelima, Indonesia merupakan tempat strategis dalam peta politik global baik dari aspek ekonomi internasional, politik internasional dan keamanan maupun pertahanan regional. Ketiga aspek tersebut memerlukan kekuatan ekonomi nasional dan penegakan hukum yang konsisten dan berkesinambungan serta kewaspadaan nasional yang tinggi dari para pengambil kebijakan.
Perubahan-perubahan dan sekaligus kelemahan dari UU PPTPPU 2010 di atas merupakan stumbling block yang akan kontraproduktif dari ketiga aspek tersebut jika tidak segera dikeluarkan peraturan pemerintah atau sekurang-kurangnya peraturan Kepala PPATK untuk mengantisipasi kemungkinan moral hazards dalam implementasi UU tersebut. Solusi ini semakin penting mengingat iklim dunia usaha di Indonesia sampai saat ini belum menunjukkan kesungguhan menciptakan good corporate governance, persaingan usaha tidak sehat atau rentan terjadi suap di sektor publik seperti diatur dalam Konvensi PBB Antikorupsi Tahun 2003.
Money laundering secara hurufiah juga diistilahkan dengan pemutihan uang, pendulangan uang atau disebut pula pembersihan uang dari hasil transaksi gelap (legitimazing ill egal income). Kata money daam istilah money laundering berkonotasi beragam, ada yang menyebutnya sebagai dirty money, hot money, illegal money atau illicit. Istilahkita menyebut beragam pula : uang kotor, uang haram, uang panas atau uang gelap. Eksistensi pencucian uang dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa kejahatan (besar) tetap hidup.
Kejahatan dan tindak pidana kejahatan pencucian uang bagaikan dua sisi mata uang, selalu berdampingan, saling membutuhkan dan tidak mungkin dilepaskan satu sama lainnya. Pencucian Uang mungkin sama tuanya dengan eksistensi uang itu sendiri. Pada dekade 1920-an sampai 1930-an saat mana kelompok penjahat yang dipimpin Al Capone melakukan pencucian uang dari kegiatan ilegalnya seperti penjualan alkohol yang saat itu dilarang, pengelakan pembayaran pajak.
Al Capone pun dimasukkan ke penjara berdasarkan pelanggaran terhadap Volsted Act. Dan Amerika Serikatlah yang pertama kali menyatakan bahwa pencucian uang sebagai suatu kejahatan. Hampir bersamaan pula waktunya ketika Swiss pada awal tahun tahun 1930-an melaksanakan pemberlakuan prinsip rahasia bank, dan pencucian uang memeperoleh pijakan kokoh. Pada saat itu petinggi-petinggi Nazi Jerman melakukan pencucian uang dengan memanfaatkan prinsip rahasia bank di Swiss. Industri pasar modal adalah industri yang dinamis dan sarat teknologi informasi, bersifat borderless dan multidimensi, hamper menyentuh semua sendi-sendi kehidupan suatu bangsa dan Negara.
Perlu ketaatan yang sangat konsiten dan dinamis dalam upaya menjaga keteraturan, kewajaran serta bermanfaat bagi kehidupan masyarakat secara luas. Tidak dapat dihindari bahwa pasar modal membuka peluang bagi pelaku pencucian uang untuk melakukan pencucian uang yang diperolehnya dari hasil tindak pidana di segala bidang. Pasar Modal merupakan salah satu lahan yang sangat mungkin dimanfaatkan oleh para pelaku pencucian uang. Minimnya pelaporan transaksi keuangan mencurigakaan oleh Penyedia Jasa Keuangan Pasar (PJK) di Modal Pasar tidak secara otomatis diterima bahwa pasar modal kita bersih dari Pencucian Uang. Karena transaksi di Pasar Modal melibatkan arus uang dan arus efek.
Banyak hal yang harus dibenahi oleh industri pasar modal agar dapat menjadi bagian dari upaya nyata pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia, termasuk dalam hal ini penerapan prinsip-prinsip good corporate governance (tata kelola perusahaan yang baik). Kesulitan mendapatkan nasabah serta persaingan usaha antar perusahaan efek dan upaya untuk memperbesar keuntungan tidak sebanding dengan risiko yang harus dihadapi dalam hal pembiaran perusahaan efek untuk dijadikan media dalam rangka pencucian uang. Penyedia Jasa Keuangan di bidang pasar modal, perlu memiliki kesamaan pemahaman bahwa upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang adalah juga menjadi bagian dari tanggung jawabnya.
 Walaupun transaksi dilakukan melalui atau melibatkan penyedia jasa keuangan lainnya, hal tersebut tidak mengurangi tanggung jawab dan kewajiban dari PJK pasar modal untuk melaksanakan kewajiban pelaporan atas adanya Transaksi Keuangan yang Mencurigakan. Buku "Tindak Pidana Pencucian Uang di Pasar Modal" lahir tidak lepas dari interaksi para penulis dengan kalangan pelaku pasar modal. Kegiatan diskusi, baik secara formal maupun informal, dengan kalangan pelaku pasar modal dan menghasilkan kesimpulan, bahwa pelaku Pasar Modal tidak menyadari adanya kewajiban berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Undang-Undang TPPU). Diskusi dengan pelaku pasar modal memberikan gambaran betapa Undang-Undang TPPU belum sepenuhnya dipahami sesuai dengan konteksnya. Buku ini terdiri dari 9 bab dan membahas tentang: Pencucian Uang, Kejahatan dan Pencucian Uang, Tindak Pidana Pencucian Uang, Rezim Anti Pencucian Uang, Pencucian Uang di Pasar Modal, Pencucian Uang pada Aksi Korporasi Emiten atau Perusahaan Publik, Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana, Rentannya Pasar Modal, dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang. Buku ini hadir, minimal untuk mempersempit kesenjangan pemahaman akan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di Indonesia.

BAB III
III.1 Penutup
            Dari Pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulang sebagai berikut:
1.      Dasar  pemikiran  kriminalisasi  terhadap  tindak  pidana money laundering  adalah  untuk   menghindari  penyalahgunaan  dan pemanfaatan  kemudahan  akses  dan  percepatan  mobilitas dana  melalui  jasa  keuangan  untuk  kepentingan menghilangkan  jejak  sumber  dana  yang  diperoleh  dari kejahatan. Hal ini penting karena :
a.  Tindak pidana money laundering merugikan masyarakat;
b.  Peningkatan trend money laundering;
c.  Terjadi  peningkatan  /  perluasan  aktivitas  kejahatan transnasional  yang  menjadi  sumber  perolehan  harta kekayaan yang menjadi obyek money laundering melalui;
1) memanfaatkan  kelemahan  perundang-undangan  suatu negara;
2) memanfaatkan  kemudahan  investasi  dalam  berbagai bentuk;
3) memanfaatkan  lemahnya  kontrol  pejabat  publik  yang berkaitan dengan moneter;
2.      Kebijakan  kriminalisasi  terhadap  tindak  pidana  money laudering  berdasarkan  UU  No.  15    tahun  2002  yang  telah diubah dan ditambah dengan UU No.25 tahun 2003 mencakup hal-hal sebagai berikut :
a.  Kualifikasi Delik
            Tindak pidana yang dikualifikasi sebagai kejahatan  terbagi menjadi dua yaitu tindak pidana pencucian uang (TPU) dan   13 tindak  pidana  lain  yang  berkaitan  dengan  tindak  pidana pencucian uang (TPLBTPU) sebagai berikut :
1) Tindak  Pidana  Pencucian  Uang  (TPU)  terdapat  dalam Pasal 3, 6 dan 7.
2) Tindak  Pidana  Lain  yang  berkaitan  dengan  Tindak Pidana Pencucian Uang (TPLBTPU) diatur dalam Pasal 8, 9 dan 10.
b.  Subjek Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang
            Pertanggungjawaban  pidana  pelaku  tindak  pidana pencucian  uang  tidak  hanya  terbatas  pada  orang,  tetapi juga dapat dikenakan terhadap korporasi.

3.      Kebijakan Kriminalisasi Yang Akan Datang.
            Kebijakan  kriminalisasi  pada  masa  yang  akan  datang  perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Masalah  Percobaan,  Pembantuan  dan  Permufakatan Jahat. Karena  aturan  pemidanaan  mengenai  percobaan,pembuatan  dan  permufakatan  jahat  tidak  disebutkan sebagai  ketentuan  umum  sehingga  tidak  jelas  apakah  ini berlaku  pasal  lain  atau  tidak,  maka  perlu  formulasi  yang lebih jelas dalam ketentuan umum.
b.  Pidana Mininal Khusus
            UU tindak pidana pencucian uang mencantumkan ancaman pidana  minimal  khusus,  namun  tidak  memuat aturan/pedoman penerapan pidananya secara khusus. Hal ini  akan menimbulkan masalah,  karena  dilihat  dari  system pemidanaan,  jumlah  ancaman  pidana  (minimal  maupun maksimal)  hanya  merupakan  salah  satu  sub-sistem  yang   14 tidak  dapat  begitu  saja  diterapkan  di  dalam  perumusan delik.  Agar  dapat  diterapkan,  harus  disertai  dengan  sub- sistem  mengenai  aturan  pemindanaan/pedoman penerapannya  terlebih  dahulu.  Oleh  karena  itu  formulasi yang  akan  datang  harus  disertai  dengan  pedoman penerapan.

c.  Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Korporasi
            Penetapan subyek hukum korporasi sebagai pelaku  tindak pidana  pencucian  masing  mengandung  beberapa kelemahan.  Pasal  4  ayat  1,  seolah-olah  korporasi  baru dapat  dipidana  apabila  tindak  pidana  dilakukan  oleh pengurus  dan/atau  kuasa  pengurus.  Jadi  kalau  dilakukan oleh  karyawan/  pegawai/  buruh/  orang  lain    bukan pengurus  atau  bukan  kuasa  pengurus,  maka  korporasi tidak dapat di pertanggungjawabkan.  Disamping  itu ancaman  pidana  denda  untuk  korporasi  yang maksimumnya  diperberat  sepertiga  tidak  disertai  dengan ketentuan khusus  untuk  pelaksanaan  pidana  denda  yang tidak dibayar oleh korporasi.


B. Saran
            Saran yang dapat saya berikan adalah:

1.  Kriminalisasi  terhadap  money  laundering  seharusnya  diikuti dengan  kriminalisasi terhadap  perbuatan-perbuatan  yang memungkinkan terjadinya money laudering misalnya di bidang perbankan  dan  pasar  modal.  Hal  ini  penting  karena  money laundering  tidak  akan  lepas  dari  kegiatan  perbankan  dan pasar modal.  




1 komentar: