MAKALAH PRESENTASI MENYANGKUT
PENCUCIAN UANG TENTANG PASAR MODAL / KORUPSI
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya
panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena atas berkat dan limpahan
rahmatnyalah maka saya boleh menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Berikut ini penulis
mempersembahkan sebuah makalah dengan judul "Kelemahan UU No. 8 Tahun 2010
tentang Pencucian Uang", yang menurut saya dapat memberikan manfaat yang
besar bagi kita untuk mempelajari kelemahan dari peraturan perundangan yang
mengatur tentang tindak pidana pencucian uang atas hasil korupsi dan lainnya.
Melalui kata pengantar ini
penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah
ini ada kekurangan, saya menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna
maka saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Dengan ini saya
mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga allah SWT
memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.
Batam, 20 Februari 2013
Nurhayati, SH
DAFTAR ISI
Halaman
Judul…………………………………………………………………………. i
Kata
Pengantar…………………………………………………………………………. ii
Daftar
Isi……………………………………………………………………………….. iii
BAB
I
I.1 Pendahuluan……………….…………………………………………………… 1
I.2 Latar Belakang
Masalah………………….……………………………………... 2
I.3 Sistematika Penulisan……………………………………..…………………….. .. 3
BAB
II
II.1 Pengertian Pencucian
Uang……………………………………………………... ... 5
II.2 Faktor Pendorong Terjadinya Pencucian
Uang………………………………….. ... 6
II.3 Dampak Pencucian Uang dalam pasar modal
…..………………………….. ….... 7
II.4 Peraturan Perundangan Tentang Pencucian
Uang di Indonesia…………………...... 8
BAB
III
III.1 Kesimpulan………………………………………………………………………. 9
III.2 Saran…………………………………………………………………………….. 10
BAB I
I.1 Pendahuluan
Indonesia telah melakukan kriminalisasi
terhadap pencucian uang sejak awal tahun 2002 dengan diundangkannya Undang
Undang No.15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU), dan
kemudian pada Oktober 2003 diamdemen dengan Undang Undang No.25 Tahun 2003.
Meskipun telah berlaku selama lebih 4 tahun, nampaknya implementasi terhadap
ketentuan ini masih jauh dari memuaskan.
Ketika diamandemen pada tahun 2003 alasan
utamanya lebih pada kelemahan perundangan yang mengakibatkan sulit untuk
diterapkan dimana hal ini juga atas desakan Financial Action Task Force (FATF).
Desakan internasional pertama kali dikakukan pada Juni 2001 dan setelah melalui
beberapa bentuk tekanan dan penilaian FATF[2] akhirnya pada Pebruari 2006
dinyatakan keluar dari monitoring formal FATF.
Namun demikian ternyata hal ini bukan berarti
Indonesia tidak “diawasi”karena pada tahun 2007 FATF akan kembali melakukan
review secara menyeluruh terhadap pembangunan rezim anti pencucian uang di
Indonesia termasuk peratutan perundangan yang mendukung penegakannya.
Bila dipahami bahwa semua tindak pidana
ekonomi (kejahatan keuangan) akan bermuara pada perbuatan pencucian uang, maka
seharusnya penerapan UUTPPU terhadap perkara kejahatan ekonomi juga banyak.
Tetapi pada kenyataannya putusan pengadilan terhadap kejahatan keuangan yang
dikaitkan dengan UUTPPU tidak sampai 20 putusan, padahal kejahatan ekonomi yang
sampai pada pengadilan jumlahnya sangat besar (apalagi yang masih dalam tahap
penyidikan jumlahnya jauh lebih banyak) sebut saja dari korupsi, kejahatan
perbankan, illegal logging, penyelundupan dan lain-lain.
Semua kejahatan tersebut seharusnya diajukan
ke pengadilan dengan dua dakwaan sekaligus yaitu kejahatan asalnya dan muara
uang hasil kejahatan sebagai tindak pidana pencucian uang. Seharusnya dipahami
bahwa kriminalisasi pencucian uang suatu strategi untuk memberantas berbagai
kejahatan ekonomi bukan saja melalui upaya penerapan hukum terhadap kejahatan
asal tersebut tetapi juga menghadang hasil aliran hasil kejahatan dengan ketentuan
anti pencucian tersebut. Maka dapat dikatakan bahwa penerapan ketentuan anti
pencucian uang bertujuan tidak saja menangkap pelakunya tetapi juga menelusuri
hasil kejahatan dan kemudian merampasnya.
Melihat masih sedikitnya kasus pencucian uang
yang sampai pada putusan, atau begitu banyaknya kasus kejahatan ekonomi yang
tidak dikaitkan dengan tuntutan pencucian uang, menimbulkan pertanyaan, apa
yang menjadi factor penyebabnya. Keadaan ini bukan mustahil Indonesia dianggap
tidak bersungguh-sungguh dalam upaya pemberantasan pencucian, dan akan
berakibat pada penilaian yang tidak menguntungkan bagi Indonesia di mata
internasional, terutama oleh FATF. Untuk itu nampaknya harus dikaji lebih
mendalam tentang faktor apa saja yang menjadi kendala sehingga penegakan hukum
terhadap pencucian uang begitu lemah.
Pengakajian ini harus diawali dengan memahami
kembali latar belakang dan tujuan dilakukannya kriminalisasi terhadap perbuatan
pencucian uang, baik secara global maupun untuk kepentingan nasional, kemudian
disinergikan dengan kualitas perundangan, kesiapan aparat penegak hukum dan
sikap masyarakat atas upaya pemberantasan pencucian uang.
I.1
Latar Belakang Masalah
Di
dalam penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang ini ada masalah yang
perlu diperhatikan oleh aparat penegak hukum. Setiap kinerja dan profesionalitas penegak hukum yang tidak
memadai akan menciptakan kendala dalam pengungkapan kejahatan sehingga
mengalami kesulitan pembuktian dalam melakukan penyidikan terhadap kejahatan
pencucian uang.
Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat adanya peningkatan Laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan (LTKM) sepanjang 2008 yakni hampir 100 persen. Jika selama 2007
LTKM tercatat hanya 11.668 transaksi, maka sepanjang 2008 bertambah hingga 95,6
persen menjadi 22.824 LTKM. Laporan tahun 2008 tersebut merupakan hasil laporan
yang dilakukan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) kepada PPATK. Sebanyak 652 hasil analisis
dari 1.240 LTKM telah disampaikan PPATK kepada penegak hukum berdasarkan
laporan statistik per 31 Desember 2008. Penyerahan ini terdiri dari 602 kasus
atau hasil analisis dari 1.041 LTKM dan 23
kasus atau hasil analisis disampaikan ke Kejaksaan Agung (yang merupakan
hasil dari 199 LTKM). Sementara itu, laporan kejahatan yang disampaikan PPATK
ke Kejaksaan Agung sebanyak 16 kasus. Saat ini terdapat 13 putusan pengadilan
menggunakan dakwaan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Kondisi
demikian ini menyebabkan Indonesia mengalami kegagalan dalam pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, karena tidak seimbangnya jumlahkasus temuan PPATK
tentang transaksi keuangan mencurigakan yang berindikasipencucian uang, dengan
jumlah kasus yang diselesaikan aparat penegak hukum.Pembuktian memegang peranan
yang sangat penting dalam penyelesaian suatu perkara, karena
ketentuan-ketentuan dalam hukum acaranya bertujuan untukmemperoleh jaminan
maksimal atas kebenaran dan keadilan melalui suatu putusan Hakim, didasarkan pada penerapan hukum
pembuktian. Dengan perkataan lain, maka untuk memperoleh jaminan maksimal atas
kebenaran dan keadilan suatu perkara
sangat tergantung dalam proses pembuktian yang sesuai dengan ketentuan.
Alat-Alat
bukti yang digunakan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundring) terdapat
dalam Pasal 73 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang Nomor 8 Tahun 2010
menyatakan :
“Alat
bukti yang sah dalam pembukitan Tindak
Pidana Pencucian Uang ialah :
a.
alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;dan/atau
b.
alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan
dokumen.”
Dengan
demikian alat-alat pembuktian yang
ditentukan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang jauh lebih banyak dan
lebih beragam jikadibandingkan dengan apa yang ditentukan dalam KUHAP mengingat
cara-cara yang digunakan pelaku untuk melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang
dengan cara-cara yang canggih. Akan
tetapi alat bukti yang ditentukan KUHAP tersebut merupakan bagian dari alat-alat bukti yang terdapat
dalam Tindak Pidana Pencucian Uang.
I.3 Sistematika Penulisan
Penulisan hukum ini terdiri dari 3
(Tiga) bab, dan masing-masing bab dari sub-sub bab. Adapun susunannya :
BAB I : Pada bab ini dipaparkan mengenai
latar belakang penulisan makalah serta
sistematika penulisan
BAB II : Pada bab ini dijelaskan secara rinci
mengenai pencucian uang serta bentuk-bentuk
pencucian uang yang sering dilakukan dalam tindak pidana korupsi
BAB III : Pada bab ini dipaparkan kesimpulan
dari permasalah yang telah dibahas
dalam bab kedua
BAB
II
II.1. Pengertian Pencucian Uang
Pada
saat ini, lebih dari sebelumnya, pencucian uang atau yang dalam istilah bahasa
Inggrisnya disebut money laundering,
sudah merupakan fenomena dunia dan merupakan tantangan bagi dunia internasional.
Walau pun begitu, tetap tidak ada definisi yang berlaku universal dan
komprehensif mengenai apa yang disebut dengan pencucian uang atau money laundering. Pihak penuntut dan lembaga
penyidikan kejahatan, kalangan pengusaha dan perusahaan, institusi-institusi,
organisasi-organisasi, negara-negara yang sudah maju, dan negara-negara dari dunia
ketiga, maupun para ahli masing-masing mempunyai definisi sendiri berdasarkan
prioritas dan perspektif yang berbeda-beda.
Pencucian
uang adalah tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menyamarkan uang hasil
tindak pidana sehingga seolah-olah dihasilkan secara halal. Atau untuk
pengertian lebih jelasnya, money
laundering adalah rangkaian kegiatan
yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap
uang haram yaitu uang yang dihasilkan dari kejahatan, dengan maksud untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pihak berwenang
dengan cara memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial
system) sehingga kemudian uang tersebut dapat dikeluarkan dari sistem keuangan
tersebut sebagai uang halal.
II.2. Faktor Pendorong Terjadinya
Pencucian Uang
Pada
saat ini, banyak tindak pidana dan kejahatan yang sudah dipengaruhi oleh
perkembangan teknologi, sehingga semakin sukar pengungkapannya. Perkembangan teknologi
yang semakin canggih dan harganya yang terjangkau seringkali dipergunakan sebagai
alat bantu melakukan kejahatan. Modus operandi kejahatan seperti ini, hanya
dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai status sosial menengah ke atas dalam
masyarakat, bersikap tenang, simpatik serta terpelajar. Dengan mempergunakan kemampuan,
kecerdasan, kedudukan serta kekuasaannya, seorang pelaku tindak pidana dapat
meraup dana yang sangat besar untuk keperluan pribadi atau kelompoknya saja.
Industri
perbankan merupakan sarana efektif untuk dijadikan sumber pencucian uang dan
juga sebagai mata rantai nasional dan internasional dalam proses pencucian uang.
Hal ini disebabkan sarana perbankan cukup banyak menawarkan jasa-jasa dan
instrumen dalam lalu lintas keuangan yang dapat menyembunyikan atau menyamarkan
asal-usul suatu dana.
Adapun
faktor-faktornya adalah sebagai berikut:
a.
Faktor pertama adalah globalisasi. Dalam hal ini terjadinya globalisasi memang
mengakibatkan para pelaku pencucian uang dapat memanfaatkan sistem financial
dan perbankan internasional untuk melakukan kegiatannya.
b.
Faktor kedua adalah cepatnya perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi ini
mungkin dapat dikatakan sebagai faktor yang paling mendorong berkembangnya
pencucian uang. Perkembangan teknologi informasi seperti internet misalnya,
dapat mengakibatkan hilangnya batas-batas antar negara.
c.
Yang ketiga adalah mengenai ketentuan kerahasiaan bank. Ketentuan ini mengakibatkan
kesulitan bagi pihak berwenang untuk
menyelidiki suatu rekening yang mereka curigai dimiliki oleh atau dengan cara
yang ilegal.
d.
Faktor keempat adalah dimungkinkannya oleh ketentuan perbankan di suatu negara
untuk seseorang dapat menyimpan dana di suatu bank dengan nama samaran atau
tanpa nama atau anonim.
e.
Faktor kelima adalah munculnya jenis uang baru yaitu electronic money atau E-money,
yaitu sehubungan dengan maraknya
electronic commerce atau
ecommerce melalui internet. Kegiatan pencucian uang yang dilakukan melalui
jaringan internet ini biasa disebut sebagai cyber-laundering.
f.
Faktor keenam adalah karena dimungkinkannya praktek pencucian uang dengan cara
yang disebut layering atau pelapisan. Dengan cara ini, pihak yang
menyimpan dana di bank bukanlah pemilik sesungguhnya dari dana itu. Deposan
tersebut hanyalah bertindak sebagai kuasa atau pelaksana amanah dari pihak lain
yang menugasinya untuk mendepositokan uang tersebut di sebuah bank.
g.
Faktor ketujuh, karena berlakunya ketentuan hukum berkenaan dengan kerahasiaan
hubungan antara lawyer dengan kliennya,
dan antara akuntan dengan kliennya.
h.
Faktor kedelapan adalah karena seringkali pemerintah yang bersangkutan tidak
bersungguh-sungguh untuk memberantas praktek pencucian uang yang dilakukan
melalui sistem perbankan negara tersebut.
i.
Faktor kesembilan adalah karena tidak adanya dikriminalisasi perbuatan pencucian
uang di sebuah negara. Dengan kata lain, negara yang bersangkutan tidak
memiliki undang-undang tentang pencucian uang yang menentukan perbuatan
pencucian uang sebagai tindak pidana.
II.3. Dampak Pencucian Uang
Praktek pencucian uang atau money laundering
memang tidak secara langsung merugikan orang atau perusahaan tertentu. Secara
sepintas bahkan praktek ini tampak tidak menimbulkan korban. Praktek pencucian
uang berbeda dengan tindak pidana lain seperti pembunuhan, perampokan atau
pencurian yang menimbulkan kerugian langsung bagi korbannya.
Masyarakat
dunia internasional pada umumnya justru berpendapat sebaliknya, yaitu bahwa
praktik pencucian uang yang dilakukan oleh organisasi-organisasi kejahatan dan
para penjahat mempunyai akibat yang amat merugikan. Dalam kegiatan pencucian
uang, dana yang menjadi obyek dari kegiatannya adalah uang yang diperoleh
melalui tindak kejahatan. Setelah melalui proses pencucian uang, uang tersebut
akan menjadi sedemikian “tersamar” sehingga sulit untuk dideteksi oleh pihak
yang berwenang dan sulit untuk diusut kembali ke sumbernya. Dan karena tidak
dapat diusut kembali ke sumbernya, maka para pelaku kejahatan tersebut akan
dapat dengan mudah menggunakan uang tersebut untuk mengembangkan kejahatannya,
yang akhirnya akan membawa kerugian besar pada masyarakat. Beberapa dampak
negatif dan kerugian yang ditimbulkan oleh kegiatan pencucian uang terhadap
masyarakat antara lain:
a.
Pencucian uang memungkinkan para pengedar narkoba, penyeludup dan penjahat lainnya
untuk dapat memperluas kegiatan operasinya. Hal ini akan mengakibatkan
meningkatnya biaya penegakan hukum untuk memberantasnya.
b.
Kegiatan ini mempunyai potensi untuk merongrong masyarakat keuangan sebagai
akibat demikian besarnya jumlah uang yang terlibat dalam kegiatan tersebut.
Potensi untuk melakukan korupsi meningkat bersamaan dengan peredaran uang haram
yang sangat besar.
c.
Pencucian uang mengurangi pendapatan pemerintah dari pajak dan secara tidak langsung
merugikan para pembayar pajak yang jujur dan mengurangi kesempatan kerja yang
sah.
d.
Masuknya uang dan dana hasil kejahatan ke dalam keuangan suatu negara telah menarik
unsur yang tidak diinginkan melalui perbatasan, menurunkan kualitas hidup, dan
meningkatkan kekhawatiran terhadap keamanan nasional.
e.
Pencucian uang dapat merugikan sektor swasta yang sah (Undermining in the Legitimate
Privet sector). Salah satu dampak mikro
ekonomi pencucian uang terasa di sektor swasta. Para pelaku kejahatan
seringkali menggunakan perusahaan-perusahaan untuk mencampur uang haram dengan
uang sah, dengan maksud untuk menyamarkan uang hasil kejahatannya.
Perusahaan-perusahaan tersebut memiliki akses ke dana haram yang sangat besar
jumlahnya, yang memungkinkan mereka untuk menyediakan barang-barang dan jasa
yang dijual oleh perusahaan-perusahaan tersebut dengan harga yang jauh di bawah
pasar. Bahkan perusahaan ini dapat saja menjual barang-barang tersebut di bawah
harga produksinya. Dengan demikian mereka
akan memiliki competitive
advantageterhadap perusahan yang bekerja secara sah. Hal ini membuat bisnis
yang sah menjadi kalah bersaing dan menjadi bangkrut.
f.
Pencucian uang dapat mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan
ekonominya.
II.4 Peraturan Perundangan Tentang
Pencucian Uang di Indonesia
Indonesia
baru memandang praktek pencucian uang sebagai suatu tindak pidana dan
menetapkan sanksi bagi pelakunya adalah ketika diundangkannya UU No 15 Tahun 2002
tentang Pencucian Uang (UUPU). Sebelumnya pencucian uang di Indonesia belum dinyatakan
sebagai suatu tindak pidana sehingga mengakibatkan Indonesia menjadi “surga”
dan sasaran kegiatanpencucian uang. Di masa Orde Baru, yaitu ketika Soeharto masih
berkuasa sebagai Presiden Republik Indonesia, Pemerintah pada waktu itu tidak pernah
menyetujui untuk mengkriminalisasi pencucian uang. Alasannya adalah karena pelarangan
pencucian uang di Indonesia hanya akan menghambat penanaman modal asing yang
sangat diperlukan bagi pembangunan di Indonesia.
Negara
Indonesia ini memang memiliki kondisi yang menguntungkan sekali bagi para
pelaku kegiatan pencucian uang. Kondisi-kondisi tersebut antara lain adalah
sistem devisa bebas yang dianut, sistem kerahasiaan bank, belum memadainya
perangkat hukum, kebutuhan negara ini akan likuiditas, dan lainnya.
Sistem
devisa bebas yang dianut di Indonesia memungkinkan tiap orang bebas untuk
memasukkan atau membawa keluar valuta asing dari wilayah yuridiksi Indonesia sesuai
dengan PP No 1 Tahun 1982. Sebelum keluarnya PP ini, ada ketentuan yang mengatur
agar setiap devisa yang keluar masuk negara Indonesia harus di catat oleh Bank
Indonesia sebagaimana yang digariskan dalam UU N0 32 tahun 1964. Berlakunya PP No 1 Tahun 1982 ini memang
dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan dana bagi pembangunan nasional dengan
mengundang para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, akan
tetapi di sisi lain mengakibatkan dampak negatif yaitu maraknya kegiatan
pencucian uang. Sistem devisa bebas ini memungkinkan berbagai cara pencucian
uang melalui transaksi lintas negara dalam waktu singkat sehingga menyulitkan
pihak berwenang yang ingin melacaknya.
Beberapa
kondisi di atas adalah hal-hal yang membuat Indonesia didesak oleh dunia
internasional untuk segera memberlakukan UU pencucian uang dan mengkriminalisasi
kegiatan pencucian uang. Pemberantasan kegiatan pencucian uang dapat dilakukan
melalui pendekatan pidana maupun pendekatan bukan pidana, seperti pengaturan
dan tindakan administratif.
Sebelum
diundangkannya UU No 15 Tahun 2002, Pemerintah Indonesia sudah mulai
berpartisipasi dalam pemberantasan pencucian uang. Adapun beberapa peraturan
dalam perundang-undangan Indonesia yang terkait dengan usaha pemberantasan
pencucian uang antara lain:
a.
Peraturan Perundang-undangan Tersebar
1. KUHP, khususnya pasal 480 dan
pasal 481 mengenai Penadahan.
2. UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. UU No. 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika
4. UU No. 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika
b.
Peraturan Dalam Undang-undang Perbankan
1. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia
2. UU No. 7 Tahun 1998
3. UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa.
c.
Peraturan Dan Surat Edaran Bank Indonesia
1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No.32/50/KEP/DIR tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembelian Saham Bank Umum.
2. PBI No.2/27/PBI/2000 tentang Bank
Umum
3. PBI No.3/3/PBI/2001 tentang
Pembatasan Transaksi Rupiah Dan Pemberian Kredit Valas oleh Bank.
4. PBI No.3/10/PBI/2001 tentang
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
5. Surat Edaran Bank Indonesia
No.2/10/DASP tentang Tata Usaha
Penarikan
Cek/Bilyet Giro Kosong.
Setelah
diundangkannya UU No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
(UUTPPU) pada tanggal 17 April 2002 yang kemudian diubah dengan UU No.25 Tahun
2003 dan kemudian dicabut dan diganti dengan UU No. 8 Tahun 2010tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, terjadi perubahan
besar dalam tata cara memandang dan menangani kegiatan pencucian uang di
Indonesia. Perubahan yang pertama adalah keberlakuan UUTPPU ini telah
menyatakan praktek pencucian uang sebagai suatu tindak pidana, sehingga akan
ada sanksi bagi orang-orang yang melakukan kegiatan ini. Perubahan yang kedua
adalah dibentuknya unit independen yang akan berperan besar dalam pencegahan
dan pemberantasan kegiatan pencucian uang di Indonesia yaitu Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Dalam
pembahasan kondisi setelah diundangkannya UU No.8 Tahun 2010 ini akan dibagi
menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah Pokok-Pokok UU No. 8 Tahun 2010
dalam hubungannya dengan pengkriminalisasian pencucian uang di Indonesia, bagian
kedua adalah mengenai tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya yang
terkait, sedangkan pada bagian ketiga pembahasan akan dikhususkan pada PPATK
sebagai “operator pelaksana” dari UU ini.
Dari perspektif mikro pencegahan dan
pemberantasan TPPU, UU No 8 Tahun 2010 ini telah menggambarkan kemajuan pesat
dan komitmen politik pemerintah Indonesia dalam ikut serta melaksanakan
ketertiban dan keamanan internasional khusus dari tindak pidana ini. Namun,
dalam perspektif makro sistem ekonomi nasional dan langkah pemerintah untuk
meningkatkan investasi domestik, terutama dari investor asing, keberadaan UU
ini bisa menjadi kontraproduktif.
Ada beberapa faktor penyebab dari masalah kontra
produktif ini. Pertama, sistem birokrasi di Indonesia sangat lemah dalam segi
manajemen administrasi, koordinasi, dan pengawasan pelaksanaan tugas yang
dibebankan oleh undang-undang. Kedua, sistem birokrasi di Indonesia masih
sangat lemah dari sisi profesionalisme, integritas, dan akuntabilitas sehingga
potensial muncul penyalahgunaan wewenang serta korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Ketiga, UU ini tidak menyediakan sarana hukum yang memadai untuk melakukan
pencegahan terhadap kemungkinan moral hazard yang akan terjadi dalam
implementasi UU ini.
Keempat, sistem birokrasi di Indonesia tidak
berhasil dan tidak pernah berhasil menggunakan prinsip stick and carrot dan
merrit sytem yang benar dalam langkah reformasi birokrasi sejak 1998 yang
lampau. Kelima, Indonesia merupakan tempat strategis dalam peta politik global
baik dari aspek ekonomi internasional, politik internasional dan keamanan
maupun pertahanan regional. Ketiga aspek tersebut memerlukan kekuatan ekonomi
nasional dan penegakan hukum yang konsisten dan berkesinambungan serta
kewaspadaan nasional yang tinggi dari para pengambil kebijakan.
Perubahan-perubahan dan sekaligus kelemahan dari
UU PPTPPU 2010 di atas merupakan stumbling block yang akan kontraproduktif dari
ketiga aspek tersebut jika tidak segera dikeluarkan peraturan pemerintah atau
sekurang-kurangnya peraturan Kepala PPATK untuk mengantisipasi kemungkinan
moral hazards dalam implementasi UU tersebut. Solusi ini semakin penting
mengingat iklim dunia usaha di Indonesia sampai saat ini belum menunjukkan
kesungguhan menciptakan good corporate governance, persaingan usaha tidak sehat
atau rentan terjadi suap di sektor publik seperti diatur dalam Konvensi PBB
Antikorupsi Tahun 2003.
Money laundering secara hurufiah juga
diistilahkan dengan pemutihan uang, pendulangan uang atau disebut pula
pembersihan uang dari hasil transaksi gelap (legitimazing ill egal income).
Kata money daam istilah money laundering berkonotasi beragam, ada yang
menyebutnya sebagai dirty money, hot money, illegal money atau illicit.
Istilahkita menyebut beragam pula : uang kotor, uang haram, uang panas atau
uang gelap. Eksistensi pencucian uang dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa
kejahatan (besar) tetap hidup.
Kejahatan dan tindak pidana kejahatan pencucian
uang bagaikan dua sisi mata uang, selalu berdampingan, saling membutuhkan dan
tidak mungkin dilepaskan satu sama lainnya. Pencucian Uang mungkin sama tuanya
dengan eksistensi uang itu sendiri. Pada dekade 1920-an sampai 1930-an saat
mana kelompok penjahat yang dipimpin Al Capone melakukan pencucian uang dari
kegiatan ilegalnya seperti penjualan alkohol yang saat itu dilarang, pengelakan
pembayaran pajak.
Al Capone pun dimasukkan ke penjara berdasarkan
pelanggaran terhadap Volsted Act. Dan Amerika Serikatlah yang pertama kali
menyatakan bahwa pencucian uang sebagai suatu kejahatan. Hampir bersamaan pula
waktunya ketika Swiss pada awal tahun tahun 1930-an melaksanakan pemberlakuan
prinsip rahasia bank, dan pencucian uang memeperoleh pijakan kokoh. Pada saat
itu petinggi-petinggi Nazi Jerman melakukan pencucian uang dengan memanfaatkan
prinsip rahasia bank di Swiss. Industri pasar modal adalah industri yang
dinamis dan sarat teknologi informasi, bersifat borderless dan multidimensi,
hamper menyentuh semua sendi-sendi kehidupan suatu bangsa dan Negara.
Perlu ketaatan yang sangat konsiten dan dinamis
dalam upaya menjaga keteraturan, kewajaran serta bermanfaat bagi kehidupan
masyarakat secara luas. Tidak dapat dihindari bahwa pasar modal membuka peluang
bagi pelaku pencucian uang untuk melakukan pencucian uang yang diperolehnya
dari hasil tindak pidana di segala bidang. Pasar Modal merupakan salah satu
lahan yang sangat mungkin dimanfaatkan oleh para pelaku pencucian uang.
Minimnya pelaporan transaksi keuangan mencurigakaan oleh Penyedia Jasa Keuangan
Pasar (PJK) di Modal Pasar tidak secara otomatis diterima bahwa pasar modal
kita bersih dari Pencucian Uang. Karena transaksi di Pasar Modal melibatkan
arus uang dan arus efek.
Banyak hal yang harus dibenahi oleh industri
pasar modal agar dapat menjadi bagian dari upaya nyata pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia, termasuk dalam hal ini
penerapan prinsip-prinsip good corporate governance (tata kelola perusahaan
yang baik). Kesulitan mendapatkan nasabah serta persaingan usaha antar
perusahaan efek dan upaya untuk memperbesar keuntungan tidak sebanding dengan
risiko yang harus dihadapi dalam hal pembiaran perusahaan efek untuk dijadikan
media dalam rangka pencucian uang. Penyedia Jasa Keuangan di bidang pasar
modal, perlu memiliki kesamaan pemahaman bahwa upaya pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pencucian uang adalah juga menjadi bagian dari tanggung jawabnya.
Walaupun
transaksi dilakukan melalui atau melibatkan penyedia jasa keuangan lainnya, hal
tersebut tidak mengurangi tanggung jawab dan kewajiban dari PJK pasar modal untuk
melaksanakan kewajiban pelaporan atas adanya Transaksi Keuangan yang
Mencurigakan. Buku "Tindak Pidana Pencucian Uang di Pasar Modal"
lahir tidak lepas dari interaksi para penulis dengan kalangan pelaku pasar
modal. Kegiatan diskusi, baik secara formal maupun informal, dengan kalangan
pelaku pasar modal dan menghasilkan kesimpulan, bahwa pelaku Pasar Modal tidak
menyadari adanya kewajiban berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Undang-Undang TPPU). Diskusi dengan
pelaku pasar modal memberikan gambaran betapa Undang-Undang TPPU belum
sepenuhnya dipahami sesuai dengan konteksnya. Buku ini terdiri dari 9 bab dan
membahas tentang: Pencucian Uang, Kejahatan dan Pencucian Uang, Tindak Pidana
Pencucian Uang, Rezim Anti Pencucian Uang, Pencucian Uang di Pasar Modal,
Pencucian Uang pada Aksi Korporasi Emiten atau Perusahaan Publik, Penegakan
Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana, Rentannya Pasar Modal,
dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang. Buku ini hadir, minimal untuk
mempersempit kesenjangan pemahaman akan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian
Uang (TPPU) di Indonesia.
BAB
III
III.1
Penutup
Dari
Pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulang sebagai berikut:
1. Dasar pemikiran
kriminalisasi terhadap tindak pidana money laundering
adalah untuk
menghindari penyalahgunaan dan pemanfaatan
kemudahan akses dan percepatan mobilitas dana
melalui jasa keuangan untuk kepentingan
menghilangkan jejak sumber dana yang
diperoleh dari kejahatan. Hal ini penting karena :
a. Tindak pidana money laundering merugikan masyarakat;
b. Peningkatan trend money laundering;
c. Terjadi peningkatan / perluasan aktivitas kejahatan transnasional yang menjadi sumber perolehan harta kekayaan yang menjadi obyek money laundering melalui;
1) memanfaatkan kelemahan perundang-undangan suatu negara;
2) memanfaatkan kemudahan investasi dalam berbagai bentuk;
3) memanfaatkan lemahnya kontrol pejabat publik yang berkaitan dengan moneter;
a. Tindak pidana money laundering merugikan masyarakat;
b. Peningkatan trend money laundering;
c. Terjadi peningkatan / perluasan aktivitas kejahatan transnasional yang menjadi sumber perolehan harta kekayaan yang menjadi obyek money laundering melalui;
1) memanfaatkan kelemahan perundang-undangan suatu negara;
2) memanfaatkan kemudahan investasi dalam berbagai bentuk;
3) memanfaatkan lemahnya kontrol pejabat publik yang berkaitan dengan moneter;
2. Kebijakan kriminalisasi
terhadap tindak pidana money laudering
berdasarkan UU No. 15 tahun
2002 yang telah diubah dan ditambah dengan UU No.25 tahun 2003
mencakup hal-hal sebagai berikut :
a. Kualifikasi Delik
Tindak pidana yang dikualifikasi sebagai kejahatan terbagi menjadi dua yaitu tindak pidana pencucian uang (TPU) dan 13 tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang (TPLBTPU) sebagai berikut :
1) Tindak Pidana Pencucian Uang (TPU) terdapat dalam Pasal 3, 6 dan 7.
2) Tindak Pidana Lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPLBTPU) diatur dalam Pasal 8, 9 dan 10.
b. Subjek Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang
Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pencucian uang tidak hanya terbatas pada orang, tetapi juga dapat dikenakan terhadap korporasi.
a. Kualifikasi Delik
Tindak pidana yang dikualifikasi sebagai kejahatan terbagi menjadi dua yaitu tindak pidana pencucian uang (TPU) dan 13 tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang (TPLBTPU) sebagai berikut :
1) Tindak Pidana Pencucian Uang (TPU) terdapat dalam Pasal 3, 6 dan 7.
2) Tindak Pidana Lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPLBTPU) diatur dalam Pasal 8, 9 dan 10.
b. Subjek Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang
Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pencucian uang tidak hanya terbatas pada orang, tetapi juga dapat dikenakan terhadap korporasi.
3. Kebijakan Kriminalisasi Yang Akan
Datang.
Kebijakan kriminalisasi pada masa yang akan datang perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Masalah Percobaan, Pembantuan dan Permufakatan Jahat. Karena aturan pemidanaan mengenai percobaan,pembuatan dan permufakatan jahat tidak disebutkan sebagai ketentuan umum sehingga tidak jelas apakah ini berlaku pasal lain atau tidak, maka perlu formulasi yang lebih jelas dalam ketentuan umum.
b. Pidana Mininal Khusus
UU tindak pidana pencucian uang mencantumkan ancaman pidana minimal khusus, namun tidak memuat aturan/pedoman penerapan pidananya secara khusus. Hal ini akan menimbulkan masalah, karena dilihat dari system pemidanaan, jumlah ancaman pidana (minimal maupun maksimal) hanya merupakan salah satu sub-sistem yang 14 tidak dapat begitu saja diterapkan di dalam perumusan delik. Agar dapat diterapkan, harus disertai dengan sub- sistem mengenai aturan pemindanaan/pedoman penerapannya terlebih dahulu. Oleh karena itu formulasi yang akan datang harus disertai dengan pedoman penerapan.
Kebijakan kriminalisasi pada masa yang akan datang perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Masalah Percobaan, Pembantuan dan Permufakatan Jahat. Karena aturan pemidanaan mengenai percobaan,pembuatan dan permufakatan jahat tidak disebutkan sebagai ketentuan umum sehingga tidak jelas apakah ini berlaku pasal lain atau tidak, maka perlu formulasi yang lebih jelas dalam ketentuan umum.
b. Pidana Mininal Khusus
UU tindak pidana pencucian uang mencantumkan ancaman pidana minimal khusus, namun tidak memuat aturan/pedoman penerapan pidananya secara khusus. Hal ini akan menimbulkan masalah, karena dilihat dari system pemidanaan, jumlah ancaman pidana (minimal maupun maksimal) hanya merupakan salah satu sub-sistem yang 14 tidak dapat begitu saja diterapkan di dalam perumusan delik. Agar dapat diterapkan, harus disertai dengan sub- sistem mengenai aturan pemindanaan/pedoman penerapannya terlebih dahulu. Oleh karena itu formulasi yang akan datang harus disertai dengan pedoman penerapan.
c. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Korporasi
Penetapan subyek hukum korporasi sebagai pelaku tindak pidana pencucian masing mengandung beberapa kelemahan. Pasal 4 ayat 1, seolah-olah korporasi baru dapat dipidana apabila tindak pidana dilakukan oleh pengurus dan/atau kuasa pengurus. Jadi kalau dilakukan oleh karyawan/ pegawai/ buruh/ orang lain bukan pengurus atau bukan kuasa pengurus, maka korporasi tidak dapat di pertanggungjawabkan. Disamping itu ancaman pidana denda untuk korporasi yang maksimumnya diperberat sepertiga tidak disertai dengan ketentuan khusus untuk pelaksanaan pidana denda yang tidak dibayar oleh korporasi.
B. Saran
Saran
yang dapat saya berikan adalah:
1. Kriminalisasi terhadap money laundering seharusnya diikuti dengan kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan yang memungkinkan terjadinya money laudering misalnya di bidang perbankan dan pasar modal. Hal ini penting karena money laundering tidak akan lepas dari kegiatan perbankan dan pasar modal.
Terima kasih :')
BalasHapustolong kritik dan sarannya ya buat yg lain.